Keliru satu kondisi legal pelaksanaan shalat jumat artinya didahului dua khutbah. Ritual khutbah dilakukan sebelum shalat jumat dikerjakan. Khutbah jumat dilakukan dua kali, pada antara khutbah pertama serta kedua dipisah dengan duduk.
Khutbah jumat mempunyai lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tadi disyaratkan memakai bahasa arab serta wajib dilakukan menggunakan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah). Berikut adalah 5 rukun khutbah jumat beserta penjelasannya.
1. Memuji pada allah di kedua khutbah
Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian juga dalam istilah “allah” eksklusif menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma allah yg lain. Contoh pelafalan yang sahih misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu lillâh”, “lillahi al-hamdu”, “ana hamidu allâha”, “allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yg salah misalkan “asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân (karena tidak memakai lafadh jalalah “allah”).
Syekh ibnu hajar al-haitami mengatakan:
ويشترط كونه بلفظ الله ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد لله أو أحمد الله أو الله أحمد أو لله الحمد أو أنا حامد لله فخرج الحمد للرحمن والشكر لله ونحوهما فلا يكفي
“disyaratkan adanya kebanggaan pada allah memakai istilah allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-llâha, allâha ahmadu, lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak relatif al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (syekh ibnu hajar al-haitami, al-minhaj al-qawim hamisy hasyiyah al-turmusi, jedah, dar al-minhaj, 2011, juz.4, hal. 246)
2. Membaca shalawat kepada nabi muhammad pada ke 2 khutbah
Pada pelaksanaanya harus menggunakan istilah “al-shalatu” dan lafadh yg satu akar kata dengannya. Ad interim untuk asma nabi muhammad, tidak eksklusif memakai nama “muhammad”, seperti “al-rasul”, “ahmad”, “al-nabi”, “al-basyir”, “al-nadzir” dan lain-lain. Hanya saja, penyebutannya wajib menggunakan isim dhahir, tidak boleh memakai isim dlamir (kata ganti) berdasarkan pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara berdasarkan pendapat lemah relatif menggunakan isim dlamir.
Model membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-nabi”, “ana mushallin ‘alâ muhammad”, “ana ushalli ‘ala rasulillah”.
Contoh membaca shalawat yg keliru “sallama-llâhu ‘ala muhammad”, “rahima-llâhu muhammadan (sebab tidak menggunakan akar istilah ash-shalâtu), “shalla-llâhu ‘alaihi” (karena memakai isim dlamir).
Syekh mahfuzh al-tarmasi berkata:
ويتعين صيغتها اي مادة الصلاة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى الله عليه وسلم
“shighatnya membaca shalawat nabi tertentu, yaitu komponen istilah yang berupa Alaihi Salam-shalâtu beserta isim dhahir berasal beberapa asma nabi muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (syekh mahfuzh al-tarmasi, hasyiyah al-turmusi, jedah, dar al-minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).
Ikhtilaf ulama tentang keabsahan membaca shalawat nabi menggunakan istilah ganti (isim dlamir) dijelaskan syekh mahfuzh al-tarmasi menjadi berikut:
فخرج سلم الله على محمد ورحم الله محمدا وصلى الله عليه فلا يكفي على المعتمد خلافا لمن وهم فيه وإن تقدم له ذكر يرجع إليه الضمير
(قوله فلا يكفي على المعتمد) أي وفاقا لشيخ الإسلام والخطيب والرملي وغيرهم (قوله خلافا لمن وهم فيه) أي فقالوا بإجزاء ذلك وهم جماعة من متأخري علماء اليمن منهم الشهاب أحمد بن محمد الناشري والحسين بن عبد الرحمن الأهدل
“mengecualikan sallama-llâhu ‘alâ muhammad, rahima-llâhu muhammadan dan shallâhu ‘alaihi, maka yg terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu’tamad (bertenaga), tidak selaras berasal ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji’nya dlamir. Pendapat al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya syaikhul islam zakariyya al-anshari, syekh al-khathib, syekh al-ramli serta lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang mencukupkan penyebutan dlamir artinya pendapat sekelompok ulama yaman, pada antaranya syekh ahmad bin muhammad al-nasyiri dan syekh husain bin abdurrahman al-ahdal.” (syekh mahfuzh al-tarmasi, hasyiyah al-turmusi, jedah, dar al-minhaj, 2011 m, jus iv, hal. 249).
3. Berwasiat dengan ketakwaan pada kedua khutbah
Rukun khutbah ketiga ini tidak mempunyai ketentuan redaksi yg paten. Prinsipnya merupakan setiap pesan kebaikan yg mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Mirip “athi’ullaha, taatlah kalian kepada allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan asal tipu daya global, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.
Syekh ibrahim al-bajuri berkata:
ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح
(قوله ثم الوصية بالتقوى)
ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر ...الى ان قال... ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا
“kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak terdapat ketentuan spesifik dalam redaksinya dari pendapat yg shahih. Ucapan syekh ibnu qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat serta himbauan menghindari makshiat, sebab takwa artinya mematuhi perintah serta menjauhi embargo, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Tapi relatif memberikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya syekh ibnu hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan berasal global dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (syekh ibrahim al-bajuri, hasyiyah al-bajuri ‘ala ibni qasim, kediri, ponpes fathul ulum, tanpa tahun, jus.1, hal.218-219)
4. Membaca ayat suci al-quran pada galat satu dua khutbah.
Membaca ayat suci al-quran pada khutbah standarnya merupakan ayat al-qur'an yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.
Seperti contoh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“wahai orag-orang beriman, bertakwalah pada allah serta bersamalah orang-orang yang jujur”. (qs. At-taubah: 119).
Tidak mencukupi membaca rabat ayat yg tidak dapat dipahami maksudnya secara tepat, tanpa dirangkai menggunakan ayat lainnya. Mirip:
ثُمَّ نَظَرَ
“kemudian beliau memikirkan” (qs. Al-muddatsir ayat 21).
Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.
Syekh abu bakr bin syatha mengatakan:
(قوله ورابعها)
أي أركان الخطبتين (قوله قراءة آية) أي سواء كانت وعدا أم وعيدا أم حكما أم قصة) وقوله مفهمة) أي معنى مقصودا كالوعد والوعيد وخرج به ثم نظر أو ثم عبس لعدم الإفهام (قوله وفي الأولى أولى) أي وكون قراءة الآية في الخطبة الأولى أي بعد فراغها أولى من كونها في الخطبة الثانية لتكون في مقابلة الدعاء للمؤمنين في الثانية
“rukun keempat adalah membaca satu ayat yg memberi pemahaman makna yang bisa dimaksud secara tepat, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita. Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” sebab tidak menyampaikan kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah pertama asal di ditempatkan pada khutbah kedua, agar bisa menjadi pembanding eksistensi doa buat kaum mukminin pada khutbah kedua.” (syekh abu bakr bin syatha, i’anatut thalibin, juz.Dua, hal.66, cetakan al-haramain-surabaya, tanpa tahun).
5. Berdo'a buat kaum mukmin pada khutbah terakhir
Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah pada perbedaan makna akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya allah semoga engkau menyelematkan kami asal neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yg mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ mâlan katsîran, ya allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.
Syekh zainuddin al-malibari mengatakan:
(و)
خامسها (دعاء) أخروي للمؤمنين وإن لم يتعرض للمؤمنات خلافا للأذرعي (ولو) بقوله (رحمكم الله) وكذا بنحو اللهم أجرنا من النار إن قصد تخصيص الحاضرين (في) خطبة (ثانة) لاتباع السلف والخلف
“rukun kelima merupakan berdoa yg bersifat ukhrawi pada orang-orang mukmin, meski tidak mengungkapkan mukminat tidak selaras dari pendapat imam al-adzhra’i, meski menggunakan kata, semoga allah merahmati kalian, demikian jua menggunakan doa, ya allah semoga engkau menyelamatkan kita berasal neraka, bila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tadi dilakukan di khutbah kedua, sebab mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (syekh zainuddin al-malibari, fathul mu’in hamisy i’anatut thalibin, surabaya, al-haramain, tanpa tahun, juz.Dua, hal.66).
Dalam komentarnya atas surat keterangan di atas, syekh abu bakr bin syatha menambahkan:
(قوله دعاء أخروي) فلا يكفي الدنيوي ولو لم يحفظ الأخروي وقال الأطفيحي إن الدنيوي يكفي حيث لم يحفظ الأخروي قياسا على ما تقدم في العجز عن الفاتحة بل ما هنا أولى
“ucapan syekh zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan duniawi, meski khatib tak hafal doa ukhrawi. Imam al-ithfihi mengatakan, sesungguhnya doa duniawi mencukupi waktu tidak hafal doa ukhrawi sebab disamakan menggunakan duduk perkara yang lalu terkait syarat tidak mampu membaca surat al-fatihah, bahkan pada persoalan ini lebih primer”.
Thank You and Good article Rukun-Rukun Khutbah Dan Penjelasannya this time, hopefully can benefit for you all. see you in other article postings.
You are now reading the articleRukun-Rukun Khutbah Dan Penjelasannya with the link address https://siramanqolbu99.blogspot.com/2019/01/rukun-rukun-khutbah-dan-penjelasannya.html
0 comments
Post a Comment